Sabtu, 18 Februari 2012

Novel Tahun 20-30 an


DIJEMPUT MAMAKNYA
H. Abdul Malik Karim Abdullah
Balai Pustaka, 1939
          Tiga tahun sudah, Musa merantau di Deli. Tiga tahun itu pula ia merasakan pahit dan manisnya kehidupan. Kemerantauan Musa sesungguhnya dimulai dari rasa keterpaksaan menghadapi kenyataan yang dihadapinya. Setelah perkawinannya dengan Ramah dilangsungkan, kehidupannya tidak semakin baik., bahkan semakin buruk. Hal itu justu membuat mertua dan mamak dari pihak istrinya tidak menyukainya. Setiap hari ada saja yang diceritakan sehubungan dengan ketidakmampuan Musa dalam mencukupi kebutuhan istrinya. Kenyataan semacam ini membuat Musa merasa tak ada harganya bila ia tidak melakukan sesuatu. Setelah menimbang baik buruknya, Musa memutuskan untuk meranatu, keinginan yang juga disetujui oleh istrinya.
            Dengan modal yang tak seberapa dan tidak dengan harapan yang muluk-muluk, mereka berangkat. Untuk mencukupi kebutuhan mereka di rantau, Musa berjualan kain kasur. Ia menjajakannya dari satu tempat ke tempat lain. Keuntungannya tidak seberapa, namun cukup untuk kebutuhan mereka berdua.
            Ketika istrinya melahirkan, beban yang ditanggung Musa bertambah. Selain membutuhkan biaya untuk kesehatan anak dan istrinya, ia juga harus membiayai ongkos pulang mertuanya yang menunggui kelahiran istrrinya. “Setelah usai anakku empat bulan, mertuaku kembali pulang. Tentu saja perlu disediakan bantuan ongkos buatnya, demikian pula kain bajunya sesalin dua, beli sirihnya sampai di kampong. Itu pun saya usahakan.
            Setelah mertua Musa kembali ke kampong halamannya, Musa sering mendapat surat dari mertuanya yang menginginkan keluarga Musa pulang dan tinggal di tanah asalnya. Keinginan itu ditanggapi oleh Musa dan istrinya. Mereka lebih suka hidup di rantai, meskipun miskin, mereka merasa merdeka, bebas dari omongan kaum kerabat yang bernada minor.
            Sikap keras kepala Musa dan istrinya itu membuat perasaan mertua dan ninik-mamak di kampong tidak enak hati, lagi pula orang-orang seperantauan Musa suka menjelek-jelekkan Musa dan mengabarkan beritanya yang tidak benar tentang Musa kepada mertuanya. Dikatakan bahwa Musa selalu berselisih dan tidak segan-segan menempeleng istrinya.Perihal anaknya, ia katakana bberpenyakit kudis dan tidak berpakaian selembar pun. Kemelaratan Musa menjadi buah bibir kaum kerabatnya. Untuk itulah, kaum kerabat sepakat untuk menjemput Ramah dan anaknya dari sisi Musa.
            Ketika utusan dari kampung diwakili oleh mamaknya Ramah dikirim untuk menjemput Ramah dan anaknya, Ramah bersikeras tidak mau mengikuti kehendak yang sudah menjadi putusan kaum kerabatnya. Ramah menolak karena ia tidak bisa meninggalkan suaminya yang sangay dicintainya itu, apapun yang akan menimpanya kelak. Namun, kekerasan hati Ramah itu luluh juga karena Musa mengijinkan mamaknya untuk membawa Ramah serta anaknya pulang ke kampung halamannya. Tentu, bukan karena Musa tidak mencintai istrinya, tetapi Karena pertimbangan lain. Salah satu pihak harus ada yang mengalah. Musa sendiri akan menyusul, nanti kalau piutang dari pelanggannya sudah dibayar semua.
            Keputusan Musa itu sungguh sangat mengejutkan pihak utusan dari kampung. Mamak dari pihak Ramah tidak menduga kalau Musa akan dengan mudah melepas Ramah. Mereka bertambah terkejut ketika Musa bersedia membiayai semua ongkos perjalanan pulang mereka.
            Dua minggu setelah kepulangan Ramah, Musa mendapat surat dari istrinya yang mengabarkan ketidak-enakkan hidup di kampung. Musa juga mendapat surat dari ibunya yang berisikan kekecewaan dari kaum kerabatnya. Mereka berpendirian bahwa sikap dari pihak perempuan menjemput istri Musa di rantau adalah suatu tindakan penghinaan. Jawaban Musa yang menganggap hal itu memang hak mamak dari pihak Ramah, tidak ditanggapi oleh keluarganya.
            Adalah Samah, teman Musa dari kampung memberitahukan bahwa Ramah telah datang kepada penghulu dan meminta cerai dari Musa. Paksaan orang tuanyalah yang membuat Ramah mengambil keputusan itu. Musa tersenyum mendengar keputusan itu walaupun hati sebenarnya merasa sedih. Ia ingin pulang, namun apa daya tak punya uang. “Duit tidak ada, Engku” Lalu ia menekur menahan air matanya.
            Begitulah keadaan Musa, sekaligus merupakan jawaban bagi temannya yang menyuruhnya menjemput Ramah dan istrinya, di kampung. Demikianlah lelaki miskin itu menghabiskan waktunya dengan menjual kain kasur. Keluar-Masuk kampung tetapi keadaannya tetap begitu.